Langit di Atas Tenda Kami
Rasa lega itu terasa seperti udara yang segar setelah badai. Nahh jadi suatu hari setelah event mengerikan bernama rapotan di sekolah, aku sama Fauzi membuka rapot dan akhirnya lega karena mendapatkan good ending yaitu nilai yang bagus dan gak dimarahin orang tua. Kemudian kami menyimpan rapot di tempat yang aman seperti laci khusus sekolah dan dokumen penting, nggak bakal disentuh sampai tahun ajaran baru yang akan datang
Setelah itu
Fauzi mengajakku ke sebuah basecamp, basecamp yang dimaksud itu pos ronda
dibantaran sungai yang dipasangin wifi khusus wilayah RT dan kebetulan wifinya
dipasang di langit-langit pas ronda, saat udah sampai aku sama Fauzi melepas
sandal, dan naik ke pos ronda kemudian aku melihat pemandangan sungai dan
langit biru yang indah dan awan-awan yang dikit, sementara Fauzi tiduran di
lantai pos ronda yang beralaskan kayu. Aku suma Fauzi lagi bengong entah apa yang
dipikirkan selama 1 jam an, dan tiba-tiba aku mulai buka obrolan kayak gini
"Fauzi, liburan sekolah ini enaknya kemana yak?" kataku
"Hmmmmmm,
entahlah liat nanti Ahzan. Pengen liburan atau jalan-jalan gitu biar gak bosen
dirumah" kata Fauzi
“Sama sih,
aku pengen banget bisa keliling-keliling atau jalan-jalan gitu biar gak bosen
dirumah kek temen-temen, aku lihat status wa temen-temen tuh entah main kemana
bahkan enak bisa bareng temen gitu” kata Fauzi
Terus aku
ngomong ke Fauzi “lahh sama dong....”
Kemudian
Fauzi ngomong gini “gimana kalo misal nanti sore terus cuaca gak mendung dan
semoga aja ada yang main layangan, nahh kita main layangan bareng. pengen adu layangan
sama mereka wkwkwkwk. Gak tau stok layanganku ada apa gak”
Terus aku
jawab tuh “Ahhh aku pengen dong, ikut yokk”
Fauzi jawab “GASSSSSSS!!!”
Ketika udah sore hari, ternyata tebakan Fauzi bener cuacanya cerah dan banyak anak-anak yang bermain layangan mulai dari layangan biasa sampai layangan sowangan ada, kami gak mau ketinggalan dan udah siap dengan stok layangan yang ada dan gulungan benang di tangan.
Tempat kami
bermain ada di bantaran sungai, anginnya sejuk dan cukup kencang cocok buat
nerbangin layangan. Di samping sungai ada jalan setapak yang jadi tempat lalu
lalang orang-orang yang melewati jalan itu dan sekaligus tempat oranh-orang
nonton kami bermain. Ada yang melintas sambil tersenyum dan ada juga yang
berhenti sebentar dan bilang, “Wahhhh benangnya kuat juga ya”
Aku dan Fauzi
langsung saling pandang, lalu menyiapkan layangan kami lebih serius. Suasana
sore begitu ramai, suara “srreeek” ketika benang bergesekan terdengar jelas
bikin jantung berdebar karena setiap saat bisa aja ada layangan putus.
Nggak terasa
waktu berjalan cepat. Langit mulai berubah dan perlahan meredup hingga adzan
magrib terdengar dari masjid di kota. Kemudian temenku Fauzi ngomong “Ehh dah
magrib Zan” sambil buru-buru menggulung benang untuk menurunkan layangan
“Iya aku
balik dulu. Besok main lagi” jawab aku
Keesokan
paginya malah zonk, hari libur terasa membosankan, nggak ada yang bisa dilakuin
seperti rebahan, main HP, buka Steam, mabar Valorant mode competitive
bareng temen walaupun gak pernah tembus rank radiant dan sering
jadi support buat timnya lewat agent Sage (Valorant adalah
game FPS multiplayer berbasis tim, dan rank radiant adalah rank
tertinggi), begitulah sangat membosankan. Untungnya waktu itu habis sholat
magrib ada acara pengajian 40 hari di rumah tetangga, disitu aku bertemu lagi
sama temenku yaitu Fauzi
Ketika
selesai acara, Fauzi tiba-tiba bilang gini
“Ahzan, besok
kalo bosen mending kita jalan-jalan”
“Yoiii gass”
aku jawab dengan penuh semangat
Terus dia
lanjutin kalimat seperti ini “ke B29 mau gak?, tapi disitu dingin lohhh. Kamu
gpp kan?, maksudnya kuat dingin?”
“Insya Allah
gpp, coba aja dulu hehehe. Kemarin waktu liburan aku pernah ke Bromo :v” jawab
aku
“Yaudahh,
coba kamu izin ke ibu kamu dulu” kata Fauzi
“Wokehhh” responku
Aku pulang
dari acara pengajian 40 hari dengan membawa nasi kotak, dan pas masuk ke rumah.
Aku ngomong ke ibuku “buk, aku boleh ke B29 bareng Fauzi gak?”, terus ibu
menjawab “bolehhh, asal nurut dan jaga diri disana ya!!. Jaga kesehatan juga
soalnya disana dingin”. Dan bagaikan semua kembang api di dunia meledak di
dalam dadaku, nol koma dua puluh lima detik kemudian aku sudah melompat
kegirangan, siap memeluk ibuku, tapi gak jadi dan aku urungkan biar gak
terlihat terlalu kekanak-kekanakan dan akhirnya jadi malu sendiri. Karena
dibolehin jadi aku segera pergi ke rumah Fauzi dan ngasih tau dia kalo aku
dibolehin pergi ke B29 kemudian diskusi bersama untuk merencakan dan
mempersiapkan apa yang harus dibawa dan kapan tanggal berangkat kesana dan
ngapain aja, terus kakaknya Fauzi bernama Mas Abdul menghampiri kami dan bilang
kalo dia mau ikutan juga karena sekalian jagain kami takutnya kami
kenapa-kenapa seperti nyasar dan jatuh ke jurang kemudian balik ke lobby atau
hanya tinggal nama.
“Gpp kok mas
kalo mau ikut, tapi jangan cuma makan popmie aja lohhh” kataku
“Aman kok
wkwkwk, mas juga bawa gitar buat hiburan sama tenda buat mas. Nanti kamu satu
tenda sama Fauzi” kata Mas Abdul sambil ketawa.
“Zan, kamu
bareng aku ya... soalnya aku bisa bawa motor trail”
“Wokehhhh,
ingfo dimengerti” kataku
“Kataku ya
gimana kalo berangkatnya itu lusa dan sore gitu, biar disana kita siap-siap
bangun tenda dan bisa liat langit malam gitu” kata Mas Abdul sambil nawarin
“Bolehh bolehhh” jawab kami berdua
2 hari
kemudian dan ini adalah hari H dan kami udah siap dengan perlengkapan yang
sudah direncakan dan disiapkan, kami bertiga siap untuk berangkat ke B29 di
sore hari jam 3 sore habis sholat ashar, aku bareng Fauzi dengan motor trailnya
sementara Mas Abdul naik motor sendirian. Kami berangkat lewat kota Lumajang
menuju kecamatan Senduro, jalannya mulai naik tapi masih aman kemudian kami
berhenti di Indomaret Senduro buat beli logistik tambahan. Setelah itu mulai
untuk pembagian role atau peran, aku bagian bawa tenda milik Fauzi sama
logistik (popmie, snack, roti, air mineral besar 5 botol), Fauzi bagian yang
bawa motor trail, sleepinh bag, dan Mas Abdul itu bawa barang sisanya. Setelah
itu lanjut ke B29 lewat desa Kandangtepus menuju desa Argosari, selama
perjalanan dengan melewati rumah warga, hutan, pasar, melewati perkemahan
Glagah Arum, melewati perkebunan sayur disisi kiri dan jurang disisi kanan
jalan. Sesekali berhenti didepan rumah orang untuk memakai jas hujan tapi tidak
jadi karena tidak hujan padahal mendung lohhh dan kami baru sadar kalau itu
cuma kabut aja.
Perjalanan
kira-kira satu jam, cukup lancar walaupun ada kabut akhirnya sampai di desa
Argosari, saat mau melewati pertigaan jika lurus maka akan masuk jalan setapak
dan masuk ke pemukian dan perkebunan warga, jika ke kanan maka ke desa Argosari
sampai perbatasan Probolinggo – Lumajang. Nah kami lewat jalan lurus masuk
melewati pemukian dan perkebunan warga, mushola,
bahkan pure dan masjid tertinggi seperti masjid Jabal Nur. Kemudian aku dan
temenku sampai di rest area B29 kedua dan kalo lurus terus akhirnya sampai di
puncak B29, gak sampai situ kami harus naik keatas untuk bisa melihat
pemandangan dan berencana membangun tenda
disana, lokasinya berada di utara dikit.
Setelah sampai di B29, ketiganya sudah siap
dengan outfit anak gunung favorit kami. Udara yang datang langsung
terasa di tubuh kami bagaikan tidur didalam kulkas. Aku memakai jaket gunung
tebal berwarna kuning cerah, disertai kupluk beanie yang serasi. Sementara itu,
Fauzi terlihat berbeda di sisiku dengan jaket dan kupluk beanie berwarna hijau
tua. Kupluk tersebut bukan hanya pelengkap gaya, melainkan pelindung yang
penting bagi kepala kami berdua yang gundul dan telinga kami. Celana kami
berwarna hitam, yang membuat suasana dua sahabat dengan warna berbeda ini
semakin mencolok di antara rerumputan di puncak B29 ini.
Sementara
kakaknya Fauzi yaitu Mas Abdul, pemilik kompor portable yang kami miliki,
tampak sebagai yang paling berpengalaman di antara kami. Ia memakai jaket
gunung tebal berwarna abu-abu tua yang udah berumur, mencerminkan pengalamannya
yang tidak diragukan lagi. Selain kami, dia mengenakan topi rimba dan celana
kargo berwarna krem. Pakaian yang dia kenakan langsung terpancar aura yang
benar-benar sesuai dengan perannya dalam perjalanan ini. Setelah berada di
puncak kami kaget, dari kejauhan ada beberapa tenda berdiri rapi. Awalnya kami
kira itu rombongan pengunjung lain, tapi begitu mendekat ke salah satu tenda
ehhh ada temen-temen kami
“Lohhh kamu
disini juga” teriakku sambil kaget
Fauzi ketawa dan ngomong “kirain aku bertiga
aja yang kesini, ternyata ada kalian juga”
Ternyata
temen-temen di tenda ada Fauzan, Naufal, Agung, Candra. Dan kami bertiga
memutuskan buat membangun tenda didekat temenku biar lebih rame. Kami mulai
memasang rangka. Ini bagian paling ngeselin dan butuh kesabaran tingkat tinggi,
dengan tiang yang panjang dan licin, kami berdua seperti badut yang sedang mencoba
menangkap lalat. Setelah tiga kali tiang itu jatuh dan mengenai kepala Fauzi,
akhirnya rangka berhasil berdiri. Kami berteriak kecil, "Wuihhhhh jadi
gesss tendanya" terus langkah selanjutnya adalah menarik pasak dan
mengikat tali. Aku fokus pada pasak di tanah, sementara Fauzi sibuk menahan
tenda dari angin yang tiba-tiba datang. Kurang lebih 30 menit effort maksimal
ditambah dengan bantuan dari Mas Abdul yang sudah selesai bangun tenda duluan,
akhirnya tenda kami berdiri koko. Fauzi masuk duluan, langsung merebahkan diri
di matras. "Mantap. Enak banget pas dingin-dingin begini yakan
hehehehe," kata Fauzi sambil tersenyum puas. Aku mengikutinya masuk,
merasakan suasana nyaman di dalam tenda yang akhirnya selesai. Kami siap
menikmati basecamp baru kami di B29.
Kemudian kami
bertiga berencana buat api unggun tapi belum sempet cari info buat beli kayu
bakar, ehhh ternyata Fauzan dan temennya udah bawa kayu bakar dari desa disana
ke tempat ini
“Nggak usah
bingung beli kayu kabar, kita dah bawain kayu bakar buat sama-sama” kata Fauzan
“Emang kalian
cari dimana?” kataku
“gini Ahzan,
aku sama Naufal, Fauzan, terus Candra beli kayu bakar di penduduk lokal sana,
terus bapaknya nganter kayu bakar kesini kira-kira sebelum kalian datang.” Kata
Agung
“Owalahhhh,
eh Ahzan tau gitu kita beli kayu bakar lohhhh” kata Fauzi
“ Ehhh iya
lohhhh, maklum baru pertama kesini” kataku
Terus mulai membuat api unggun, pertama kayunya
ditata dulu kemudian dikasih kertas buat dibakar dan ditaruh ke kayu bakar biar
nyala tapi gagal. Angin B29 yang dingin dan langsung berhembus kencang,
mematikan apinya seketika.
Fauzi ngomong
gini. "Gini aja nggak nyala. Ini pasti karena kayunya nggak bagus."
"Kayunya
sih bagus, kamunya yang skill issue” kata aku sambil tertawa.
"Sini, giliran aku yang coba. Kita harus pakai teknik ini."
Saatnya kerja
tim. Aku, Fauzi, dan Naufal langsung berjongkok rapat, saling membelakangi dan
merapatkan punggung. Tubuh kami yang berjumlah tiga orang menjadi perisai
pelindung dari hembusan angin, sementara Mas Abdul, Agung, Candra, dan Fauzan
berdiri mengelilingi kami, siap menahan angin dari segala arah.
Aku mengambil
beberapa helai tisu, meremasnya, dan menyalakan korek. Kali ini, Fauzi, Naufal,
dan aku bergantian meniup dengan sangat hati-hati supaya apinya tidak cepat
tumbang.
"Ayo,
dikit lagi dah mau nyala tuh!" bisik Naufal
Perlahan, api
itu menangkap tisu, lalu merambat ke kertas, dan akhirnya menyentuh
ranting-ranting tipis. Kami bertujuh menahan napas sampai api itu benar-benar
stabil, dan berhasil akhirnya apinya berhasil nyala
“MANTAPPPP
API UNGGUNNYA DAH NYALA” bisik kami berdua serentak, diikuti sorakan pelan dari
yang lain. Kami segera menambahkan beberapa kayu ke dalam api. Tak lama, cahaya
oranye kemerahan dan kekuningan yang hangat itu mulai menerangi wajah kami dan
tenda-tenda di sekitar kami. Kami duduk berhadapan, menikmati vibes api unggun
yang akhirnya menyala dengan indah. Dan sambil nunggu langit yang mulai gelap,
kami pun mengobrol sambil mengelilingi api unggun diawali dengan Mas Abdul yang
membuka obrolan “kalian ini satu sekolah sama adekku?”
“Iya mas,
kita satu sekolah tapi beda kelas. Aku, Naufal, Candra, sama Agung itu sekelas,
kalo Ahzan sama Fauzi itu beda kelas” Fauzan menjawab
“Owalahhh
pantesan kok dia tau :v” kata mas Abdul
“kalo mas?”
kata Agung
“udah kuliah
hehehe...” kata Mas Abdul
Akhirnya kami
saling kenalan satu sama lain dan saling akrab walaupun temen satu sekolah dan
belum kenal sama Mas Abdul, aku bertanya “kalian berangkat kesini kapan”
“kami
berempat berangkatnya siang” jawab Fauzan
“Wuihhh
berangkat lebih awal dong!!!” kataku
Lalu dijawab
oleh Fauzi, "Buset! Berangkat lebih awal?"
"Iya
dong, kita datang lebih awal biar bisa siap-siap," timpal Fauzan.
Abdul yang
mendengar hal itu langsung bertanya, "Keren, anak teladan nih. Memangnya
kamu bawa apa?"
Mereka
menjawab kalau mereka membawa banyak barang seperti tenda, matras, dan
lain-lain yang dibawa oleh mereka berempat.
"Oh,
iya, gini, kita berangkat ke B29 itu naik mobil jeep punya temen bapakku.
Terus, ya gitu, banyak barang-barang di dalam mobil itu, terus parkir di rest
area 1," kata Naufal.
Terus aku
nanya lagi, "Jadi mobil jeep-nya parkir di situ? Terus kalian naik ojek
buat kesana? Eh, benar enggak sih?"
"Benar
kok, Zan. Kita bayar Rp75.000,00 gitu. Gpp deh daripada jalan kaki yakan"
kata Agung
“owalahhh
gitu” kataku
Langit sudah
mulai gelap, matahari mulai terbenam dan muncullah penampakan rembulan dan
bintang yang kerlab kerlib dari jauh udara di B29 sudah mulai dingin seperti
tidur di kulkas yang berarti malam sudah datang. Kami disini mulai memasak
untuk makan bersama, ada yang ngopi, ada yang mulai menyiapkan bahan makanan
dan sementara aku sama Fauzi nyiapin popmie dan kompor portable punya Mas Abdul
“kok cuma
bawa popmie, padahal lumayan kalo beli sayuran plus daging” kata Candra
“Darimana
duitnya” jawabku sama Fauzi (emote batu)
“gak mungkin
kan ngecheat unlimited money gitu wkwkwkwk” kata Fauzi
sambil tertawa
Dan akhirnya
kami berdua diajak buat gabung ke temen-temennya si Fauzan buat masak bareng,
kata temennya Fauzan yaitu Naufal bilang gini “gpp kok, mending kita kasih aja.
Kita juga kelebihan nasi dan lauk”
Aku jawab
“makasih lohhhh..... aku juga bawa mie sedap” sambil ngeluarin mie sedap dari
tasnya
“Hah...
ngapain kamu bawa mie” kata Fauzi sambil kaget
“barangkali
kurang” jawab aku
“Lohhhh
padahal udah cukup” kata Fauzi
Meskipun
dalam perencanaan yang kurang sempurna, berkat kerja sama tim kami saat masak
jadi solid berkat bantuan Naufal dan yang lain. Setelah semua selesai, kami
duduk melingkar di depan api unggun. Aku, Fauzi, dan Mas Abdul sepakat
menghabiskan jatah Popmie biar gak mubazir hehe, baru kemudian kami menyerbu
lauk dan nasi lengkap dengan saos dan sambal dari temen-temennya Fauzan. Malam
itu, tawa dan obrolan kami hangat dan nyaman, mengalahkan dinginnya B29 yang
dinginnya seperti tidur di kulkas.
Setelah perut
kenyang berkat solidaritas basecamp Naufal, kami kembali duduk melingkar
di depan api unggun. Kehangatan api itu terasa nyaman sekali, menghilangkan
sisa-sisa dingin yang menempel di outfit anak gunung kami.
“Ehhh mau
nanya, kenapa gula itu manis” kata Fauzi dengan sengaja memecahkan keheningan
“Lohh kalo
asin itu namanya garam” kata Agung
Kemudian aku
langsung ada ide pertanyaan, dan mencoba buat ngasih pertanyaan
“Kalo Ibu
beli 3 telur, terus ibu mau bikin kue apa yang harus dilakukan ibu supaya telur
itu tidak habis?” aku yang sedang bertanya
Mereka mikir
sejenak
“Woiyaaa, gak
usah bikin kue. Ngapain? kan telurnya Cuma 3” kata Fauzan
“Mending gak
usah bikin kue” kata Naufal
Candra, yang
duduk di seberangku, tiba-tiba menunjuk ke arah kami berdua. "Serius deh,
Ahzan, Fauzi. Kalian ini janjian kah pakai kupluk bareng?. emang sengaja couple
outfit ya?"
Fauzi
langsung menyenggolku. "Woiya donggg, aku sama Ahzan sengaja janjian pakai
kupluk bareng :v, soalnya buat nutupin kepala kami yang gundul” Dan aku cuma
merespon dengan senyuman malu-malu.
Agung tertawa
terbahak-bahak. "Oh iya!! Aku baru sadar. Kalian berdua kalau kupluknya
dilepas, pasti langsung keluar sinar cahaya. Jadi lumayan buat penerangan
kwwkwkwkw!"
Kemudian
Fauzan menjawab “bruhhh, ehh Ahzan sama Fauzi. Kamu gak sendirian kok aku juga
pakai kupluk kok, sama-sama gundul hehehe”
“wahhh ada
barengnya” kataku dan Fauzi secara bersamaan
Akhirnya
suasana langsung pecah yang awalnya sepi jadi rame. Ketika suasana sudah
kembali tenang, aku tiba-tiba mengambil kotak kartu UNO dari tasku.
"Oke,
biar gak bosen kita main Uno, aku bawa Uno lohhhh” tantangku, mengeluarkan
tumpukan kartu Uno”
"Eittsssss,
ngapain bawa Uno itu. Itu Uno buat pemula, Agung mana kartu Uno yang satunya”
kata Naufal
“Ini Candra,
kartu Unonya” kata Agung sambil ngeluarin kartu Uno
“Nahhh gini,
mending kita main Uno Mercy. Baru kerennnn” kata Candra
“Waduhhhhh”
kataku sama Fauzi
Puncaknya
datang. Tiba-tiba, teman-teman lain sudah lebih dulu mengeluarkan kartu plus
mereka, dan Fauzi, dengan wajah licik, berhasil menutupnya dengan tujuh kartu plus
secara beruntun, mengarahkannya padaku. Karena aku tidak punya kartu plus
untuk membalas, aku pasrah menerima hukuman minum kartu sebanyak itu.
Aku pasrah
dan berteriak, "Ngotak dikit kalo main main sekejam itu dong!"
Tumpukan kartu di tanganku sudah setinggi gunung B29 bahkan melebihi harapan
orang tua pada anaknya.
Tawa pecah,
riuh, dan hangat. Kehangatan api dan tawa kami saat itu benar-benar menjadi pelindung
terbaik melawan dingin di malam hari. Kami tahu, momen random dan random
seperti inilah yang akan kami ingat dari B29.
Kami butuh
waktu lama untuk benar-benar menyelesaikan permainan UNO Mercy paling nggak
ngotak malam itu. Kartu di tanganku baru habis setelah tiga puluh menit dan
tiga putaran yang sangat membosankan. Ketika tumpukan kartu terakhir berhasil
kubuang, Fauzi yang sedari tadi terus tertawa langsung bersandar di bahu Mas
Abdul, kelelahan.
Perlahan,
keramaian itu mereda. Tawa kami berhenti, digantikan oleh suara angin dingin
yang mengalir lembut dari lembah. Kayu bakar di api unggun sudah mulai menipis,
menyisakan bara api yang berkedip-kedip.
Suasana
mendadak menjadi hening, terasa lelah setelah bermain kartu Uno Mercy.
Naufal, yang sejak tadi diam, tiba-tiba mendongak ke atas.
"Waduh...
liat ke atas deh" bisiknya pelan. "Liat bintang."
Kami bertujuh
segera mendongak. Di sana, di atas kepala kami, terhampar pemandangan yang
membuat semua obrolan dan tawa langsung terhenti, langit malam di B29
benar-benar berbeda. Ribuan bintang bertaburan, seolah langit hitam itu retak
dan memperlihatkan cahaya putih dan warna warni di baliknya. Aku belum pernah
melihat bintang sebanyak ini seumur hidupku. Cahaya bulan redup, membuat galaksi
bima sakti (atau disebut juga milky way) terlihat seperti pita kabut
putih yang membentang gagah di angkasa. Di bawah kami, lampu-lampu rumah
penduduk bahkan pemandangan kota Lumajang terlihat seperti taburan permata di
lembah yang gelap gulita.
Kami berdiri
di sana, di tengah dingin yang menusuk, tanpa bicara, selama beberapa menit.
Semua kerepotan saat memasang tenda, skill issue saat bikin api unggun, ngobrol
hal random, bahkan kekalahan Uno Mercy tadi semuanya terbayar
lunas kok.
Fauzi, kupluk
hijaunya sedikit miring akhirnya bersuara dengan nada yang pelan dan serius.
"Ini yang namanya healing sejati, Zan.", Aku cuma senyum disaat
merasakan dinginnya B29, tapi hatiku hangat banget.”
Mas Abdul, si
veteran pendakian, hanya mengangguk pelan dengan maksud setuju dengan
pernyataan Fauzi. "Setiap effort atau usaha yang kalian keluarkan
buat sampai di sini, memang worth it cuma demi lihat pemandangan kayak
gini."
Saat itu, aku
baru sadar. Bukan basecamp di pos ronda yang kami butuhkan, tapi
pengalaman ini yang tak terlupakan. Pengalaman melihat kebesaran semesta bersama-sama,
dari puncak tertinggi dengan penuh kedamaian. Malam itu terasa dingin, namun
hati kami hangat dan penuh.
Malam semakin
larut kira-kira udah jam setengah dua belas, dan dinginnya B29 terasa makin
ganas. Setelah puas melihat bintang-bintang di langit, kami bertujuh buru-buru
masuk ke tenda masing-masing, aku tidur berdua dengam Fauzi di tenda milik
Fauzi, Fauzan dan kawan-kawannya tidur bareng di tenda yang besar yang muat
hanya 4 orang, sementara Mas Abdul tidur di tenda sendirian. Di dalam tenda,
Fauzi langsung menarik sleeping bag hingga menutupi seluruh kepala,
menyisakan sedikit ruang untuk bernapas, sementara aku tidur dimatras dengan
bantal dari tas ku. Tidur di B29 benar-benar terasa seperti tidur di dalam
kulkas, namun dengan hati yang sangat-sangat hangat. Aku bisa mendengar
dengkuran halus Fauzi, dan tawa samar teman-teman yang masih mencoba tidur sambil
ngejokes pelan. Aku memejamkan mata, membiarkan energiku yang tinggal
sedikit di malam ini digantikan oleh janji keindahan di pagi hari.
Nggak terasa
aku tidur tidur sebentar, suara temen-temenku dan orang-orang disana terdengar
dari luar tenda. Jam menunjukkan pukul 4:30 pagi. Ini dia saatnya yang
ditunggu-tunggu dan dicari di B29. Aku
dan Fauzi, tanpa perlu bicara, langsung merangkak keluar dari tenda. Kupluk
kuning dan hijau kami terpasang kembali di kepala yang gundul, kemudian aku
berkumpul bersaama temen-temenku. Di hadapan kami, keajaiban yang sesungguhnya
muncul.
Samudra awan
putih tebal terhampar luas, menutupi semua lembah di bawah. Awan-awan itu
tampak seperti kapas tebal yang mungkin bisa kami pijak atau mungkin tembus
kebawah dan jatuh. Di kejauhan, perlahan langit menjadi biru tua kemudian
muncul warna jingga dan sedikit kekuningan menandakan kalo matahari terbit
dengan warna oranye keemasan yang menakjubkan, menembus kabut, memancarkan
pemandangan Gunung Semeru yang gagah dan Gunung Bromo yang terlihat dari
kejauhan.
Kami bertujuh
berdiri berjejer di tepi jurang. "Gila, gila, gila," bisik Fauzi, tak
mampu berkata-kata lain. Bahkan Mas Abdul, yang veteran, ikut terdiam
dengan senyum puas.
Fauzi
menunjuk ke cakrawala, matanya menyipit karena silau. "Itu apa ya kok ada
bola panas yang muncul di langit? Spill, dong!!!!!"
Aku langsung
menjawab dengan nada lelah. "Itu bola panas yang orang-orang sebut matahari,
bro.!"
“Udah
dingin-dingin begini jangan ngejokes dulu deh” kata Naufal
Aku tertawa
kecil, menikmati jokes receh di tengah pemandangan yang indah.
"Tenang, Fauzi. Dinginnya ini udah auto-lupa kalau lihat yang
begini."
“Kalo misal
kita ngajak temenmu Rifal gimana?” kata Agung
“Rifal mana
mau kesini?, dia aja takut ketinggian gitu” kata Naufal
“waduhhh
sayang banget padahal disini bagus lohhh” kata Canda
“hehehehe
biasalah Rifal” kata aku sambil nyengir
Setelah
beberapa saat menikmati pemandangan, kami sadar ada satu ritual yang wajib
untuk dilakukan. Kami segera mencari tempat estetik "Ayo, foto bareng buat
buktiin effort dan keseruan kita kawan!!" seru Candra.
Kami berfoto,
dengan latar belakang lautan awan yang tak terbatas, dan pemandangan berupa
Gunung Semeru dan Bromo. Dalam foto itu, kami terlihat lelah, kupluk kami
sedikit miring, tapi senyum kami lebar dengan pose random. Foto itu menangkap
semua momen bersama kami dan teman kami, kejadian random tadi malam, dan
keindahan pagi hari yang kami saksikan bersama. Kami sadar, petualangan ini
bukan hanya tentang pemandangan yang indah di pagi hari ini, tapi tentang
seberapa besar effort atau usaha dan jokes yang kami berikan
untuk melihatnya.
Setelah itu
kami sarapan mi instan hangat, kami berkemas. Aku menoleh ke belakang, menatap
lautan awan untuk terakhir kalinya. Kemudian merobohkan tenda dan merapikan
tenda untuk dibawa pulang dan memastikan kalau kami tidak meninggalkan
sampah-sampah selama kami rekreasi di B29 ini, karena yang menikmati B29 tidak
hanya kami saja bahkan orang-orang dari penjuru dunia akan mampir kesini suatu
saat nanti entah itu siapa, kapan, darimana dan sama siapa. Aku tidak menyangka
ini menjadi liburan yang menyenangkan, memorable (mudah untuk diingat)
karena liburan kali ini bareng temen-temen, dan rasa lelah kami dan temen-temen
kami, kegagalan api unggun karena skill issue, dan dinginnya di waktu
subuh, ternyata benar-benar worth it untuk ditukar dengan pemandangan di
atas awan yang indah ini. Kemudian saatnya meninggalkan B29 dan pulang kerumah,
aku sama Fauzi dan Mas Abdul pulang duluan sementara Fauzan, Candra, Naufal dan
Agung naik ojek kembali untuk ke rest area 1 B29 karena mobil jeep
nya ada disana.
2 hari
kemudian setelah dari liburan ke B29, setelah aku mencuci dan menjemur semua
jaket dan kupluk kuning andalanku, aku pergi ke tukang cetak foto. Aku mencetak
foto kami bertujuh berjejer di tepi jurang, dengan latar belakang lautan awan
di pagi hari dan gunung semeru.
Notif hpku
tak berhenti bergetar.Ternyata temen-temenku seperti Fauzi, Candra, dan Naufal
sudah lebih dulu post foto-foto sunrise kami ke media sosial
seperti instagram dan tak lupa juga mereka tag atau mention aku di postingan
itu. Obrolan di grup chat kami langsung ramai banget. Mereka
berlomba-lomba mencari caption yang paling deep walaupun
kenyataannya tidak seperti itu, aku juga ikutan post di story dan repost
story yang ngetag aku. Fauzi mengirim meme dirinya sendiri saat
kepalanya kena tiang tenda, dan Candra mengunggah foto api unggun yang gagal
dengan caption: "Skill issue, tapi view worth it." Aku
hanya ikut tertawa sambil membalas story mereka. Semua orang seolah
ingin memastikan bahwa petualangan low-budget kami di B29 ini
benar-benar ada dan indah untuk dikenang dikenang sampai kapanpun.
Kembali ke
kamar, aku menempelkan foto itu di buku harian pada tanggal dimana aku dan
temenku ke B29. Di bawah foto itu, aku menuliskan rangkuman perjalanan kami
seperti effort membuat api unggun, masak pakai kompor portable, ngobrol
hal random, main Uno Mercy sampai momen terdiam menatap bintang dan sunrise.
Kemudian terakhir aku menghias buku harian itu dengan menempelkan stiker
seperti stiker Minecraft dengan gambar Creeper, TNT, diamond
block dan stiker gambar karakter Undertale dan Deltarune
seperti karakter Sans, Frisk, Ralsei, Kris, Undyne, dan stiker karakter
skin youtuber AhZanMC masih banyak lagi.
Aku
tersenyum. Liburan ini memang memorable atau mudah diingat, karena bukan
hanya tentang ke mana kami pergi, tapi dengan siapa kami melewatinya.
Petualangan di B29 sudah selesai, dan kenangan itu kini abadi sampai kapanpun,
bukan cuma di galeri hp saja, tapi juga di buku harianku. Aku tahu, petualangan
ke B29 itu bukan hanya tentang puncak gunung yang indah, tapi tentang
kebersamaan yang membawa kami melihat dunia dari perspektif baru. Dan untuk
petualangan berikutnya? Kami hanya perlu menunggu liburan sekolah selanjutnya
datang kembali.
Sorenya,
setelah urusan dunia maya dan buku harian selesai, aku masuk ke rumah. Ibu
sedang menonton TV. Aku menunjukkan semua foto di B29, dari tenda miring hingga
sunrise epik.
"Gimana,
Zan? Dinginnya kerasa banget, yakan? Senang Ibu mendengarnya," kata Ibu
sambil tersenyum.
"Dingin,
Buk. Tapi aku seneng banget disana ketemu temen-temen," jawabku.
Tak terasa
cerita kami liburan ke B29 berakhir sampai sini, dua jam setelah aku bilang ke
Ibu kalau liburanku di B29 udah berakhir, HPku tiba-tiba rame lagi. Grup WA
sirkelku kembali hidup. Fauzi nanya, katanya pengen healing lagi. Aku langsung
bales, “Healing apanya, dompet aja belum ada.” plus emote ketawa
Candra ikut
nyaut, bilang kalau nanti harus bawa tenda anti-angin. Fauzi ngakak dan
nambahin, katanya sekalian aja bawa orang yang beneran bisa bikin api unggun
biar nggak skill issue seperti kemarin. Aku cuma balas, “Setuju, tapi
jangan lupa UNO Mercy-nya sekalian,” dan Candra langsung ngetik, “UNO Mercy di
atas awan part dua confirmed!”
“Ternyata
temen-temen kita merespon story ig kita, bahkan beberapa ada yang
rekreasi di bromo lohhh” kata Naufal
“Lahhh
beneran?” kata Candra
“Iyaaaaa”
kata Naufal
“Yaudah suruh
ajak ke B29 bareng kita biar ngerasain dinginnya disana wkkwkwkwk, sekalian
ajak temenmu Rifal” kata Agung
Grup langsung
meledak. Emoji api, ketawa, dan stiker absurd bertebaran kayak meteor jatuh di
layar chat. Aku cuma bisa senyum sambil taruh HP di meja. Malam itu aku buka
buku harian lagi, nulis satu kalimat kecil di bawah foto kami di puncak B29:
“Setinggi
apapun gunung tersebut, tapi yang paling bikin hangat karena momen bersama
teman-teman”